Sidebar ADS

KEBANGKITAN NASIONAL SERUAN BANGKIT BERGERAK ATAU AKAN TERUS DI TINDAS

KEBANGKITAN NASIONAL SERUAN BANGKIT BERGERAK ATAU AKAN TERUS DI TINDAS‼️

20 Mei bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah nyala api dari kesadaran kebangsaan yang tumbuh di tengah umat Islam, mekar dari nilai keadilan, kemanusiaan, dan semangat merdeka. Tapi hari ini, saat bangsa ini dihadapkan pada realitas sejarah yang kian dikaburkan oleh kelompok-kelompok oportunis seperti klan Ba’alwi, kita dihadapkan pada satu pilihan: bangkit, bergerak, atau ditindas.

"Dari Masjid ke Medan Juang: Islam dan Kebangkitan Bangsa"

Sejarah mencatat, Kebangkitan Nasional Indonesia tidak lahir dari ruang hampa. Ia bertumbuh di tengah kegelisahan rakyat, dipimpin oleh tokoh-tokoh Muslim visioner seperti KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, dan HOS Tjokroaminoto, yang menggandeng umat melalui pendidikan, dakwah, dan perlawanan sosial terhadap penjajahan.
Salah satu lokomotifnya adalah Sarekat Islam (SI)—organisasi Islam pertama yang bukan hanya berbicara agama, tetapi memproyeksikan Islam sebagai ideologi perlawanan terhadap kolonialisme. Kongres Sarekat Islam tahun 1916 di Bandung adalah peristiwa monumental. Di sinilah lahir tuntutan “zelfbestuur”—pemerintahan sendiri—yang menampar wajah penjajahan Belanda secara terbuka.

Di tangan HOS Tjokroaminoto, SI menjadi sekolah politik kebangsaan. Murid-muridnya seperti Sukarno, Semaoen, dan Kartosoewiryo kemudian memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia, masing-masing dengan jalan berbeda. Tapi benang merahnya jelas: kesadaran kebangsaan lahir dari semangat keislaman yang merdeka.

"Tauhid, Ilmu, dan Politik: DNA Kemerdekaan Indonesia"

Doktrin Sarekat Islam: “Semurni-murni Tauhid, Seluas-luasnya Ilmu, dan Sepandai-pandainya Syasyah (politik),” menjadi DNA ideologis bangsa ini. Dalam tubuh Piagam Jakarta cikal bakal Pembukaan UUD 1945 tercermin pemikiran tajam tokoh-tokoh SI seperti Haji Agus Salim dan Abikoesno Tjokrosoejoso. Frasa “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” bukan sekadar kalimat indah, tapi deklarasi teologis bahwa kemerdekaan ini bukan pemberian, melainkan anugerah Allah bagi bangsa yang berjuang.

Agus Salim membuktikan bahwa keislaman tidak bertentangan dengan diplomasi modern. Lewat misinya ke Timur Tengah tahun 1947, Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan dari Mesir, Irak, Suriah, dan Arab Saudi. Di podium PBB, dengan kecerdasan bahasa dan argumentasi, ia membungkam propaganda Belanda. Inilah buah dari Ilmu dan Syasyah.

"Ancaman dari Dalam: Ketika Sejarah Dikuasai oleh Klan Elit"

Namun di tengah arus sejarah yang berani ini, kini bangsa ini dibelenggu oleh kelompok yang mengkapitalisasi nama agama untuk membangun kerajaan sosial, bahkan spiritual feodalisme. Klan Ba’alwi adalah contoh nyata.
Dengan menjual klaim nasab yang tak bisa diverifikasi secara ilmiah maupun historis, mereka menciptakan strata sosial semu—seolah ada manusia suci yang harus dipuja dan ditaati. Padahal sejarah, ilmu filologi, hingga genetika modern telah membuka tabir kebenaran: klaim nasab mereka tidak sahih.
Kehadiran mereka justru melumpuhkan semangat merdeka. Mereka mengusung ajaran khurafat, klaim mi’raj karangan, dan menjadikan rakyat sebagai budak spiritual yang tidak berpikir kritis. Ini bukan hanya masalah akidah, tapi ancaman bagi jati diri bangsa.

"Bangkit atau terus Ditindas"

Kini, 20 Mei harus menjadi momentum kesadaran kolektif: bahwa bangsa ini berdiri karena semangat tauhid dan keadilan, bukan karena keturunan atau darah biru palsu. Sejak diamandemennya UUD 1945, hasil kajian Prof. Kaelan menunjukkan 97% isinya telah berubah. Ini bukan lagi kosmetik hukum—ini adalah penggantian ideologi secara diam-diam.
Bangsa ini harus bangkit. Kembali pada UUD 1945 yang asli, Pancasila yang murni, dan semangat perlawanan terhadap setiap bentuk penindasan, baik dari penjajah luar maupun penjajah bersorban dalam negeri.

Penutup:
"Lawan dengan Ilmu, Buka dengan Kesadaran"

Hari ini, bangkit bukan pilihan, tapi keharusan. Kita harus keluar dari ketakutan, dari kepalsuan, dari penindasan berkedok agama. Jangan biarkan bangsa ini jadi budak klan, yang hidup di atas mitos dan menjajah dengan pujian.

Seperti yang dikatakan HOS Tjokroaminoto:
“Jika kamu ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti jurnalis dan berbicaralah seperti orator ulung.”
Maka hari ini, kita menulis. Besok, kita bicara. Dan selamanya, kita lawan.

web.facebook.com/qsantri.eu.org?apps.apple

إرسال تعليق

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

أحدث أقدم
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS