THORIQOH WALI SONGO: JEJAK SPIRITUAL DALAM PENYEBARAN ISLAM DI NUSANTARA
#Pendahuluan
Thoriqoh Wali Songo merupakan salah satu aspek penting dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, khususnya pada era 1400-1500. Dalam konteks ini, tarekat tidak hanya dipahami sebagai aliran spiritual yang terpisah, tetapi lebih sebagai suatu perjalanan spiritual yang melibatkan suluk (proses penghayatan) dan riyadhoh (pengabdian) kepada guru. Wali Songo, yang berarti "Sembilan Wali," adalah sekelompok tokoh yang berperan besar dalam menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa dan sekitarnya. Mereka tidak hanya menyebarkan agama, tetapi juga mengintegrasikan nilai-nilai lokal dengan ajaran Islam, sehingga menciptakan suatu bentuk keagamaan yang khas dan mudah diterima oleh masyarakat.
Dalam perjalanan sejarahnya, ajaran dari thoriqoh Wali Songo tidak dapat dipandang sebagai satu entitas tunggal. Sebaliknya, ia merupakan jaringan spiritual yang kaya dan beragam, di mana setiap wali memiliki pendekatan dan metode yang berbeda dalam menyebarkan ajaran Islam. Misalnya, Sunan Kalijaga dikenal dengan pendekatannya yang mengedepankan seni dan budaya, seperti wayang kulit dan gamelan, untuk menarik minat masyarakat. Sementara itu, Sunan Giri lebih fokus pada pendidikan dan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Pendekatan yang beragam ini menunjukkan bahwa thoriqoh Wali Songo mampu beradaptasi dengan konteks sosial dan budaya masyarakat setempat.
Suluk dan riyadhoh menjadi dua aspek penting dalam tarekat Wali Songo. Suluk adalah proses penghayatan spiritual yang mendalam, di mana para pengikut diajarkan untuk merenungkan dan memahami ajaran Islam secara lebih mendalam. Proses ini melibatkan meditasi, dzikir, dan praktik-praktik spiritual lainnya yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Di sisi lain, riyadhoh adalah pengabdian kepada guru dan komunitas, di mana para pengikut diajarkan untuk berkontribusi dalam masyarakat dan membantu sesama. Kedua aspek ini saling melengkapi dan menjadi fondasi bagi pengembangan spiritual para pengikut thoriqoh Wali Songo.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena di mana banyak individu atau kelompok mengklaim sebagai pewaris silsilah thoriqoh Wali Songo. Klaim ini sering kali menimbulkan pertanyaan dan kontroversi, terutama karena silsilah tarekat Wali Songo sudah tidak lestari dan sulit untuk dilacak secara akurat. Dalam konteks ini, penting untuk mempertimbangkan beberapa faktor. Pertama, banyak dari ajaran dan praktik yang diwariskan oleh Wali Songo telah mengalami transformasi dan reinterpretasi seiring berjalannya waktu. Hal ini membuat sulit untuk menentukan siapa yang benar-benar merupakan pewaris sah dari tradisi tersebut.
Kedua, klaim-klaim ini sering kali dipengaruhi oleh kepentingan sosial, politik, atau ekonomi. Dalam beberapa kasus, individu atau kelompok mungkin menggunakan klaim tersebut untuk mendapatkan legitimasi atau pengaruh dalam masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk kritis dalam menilai klaim-klaim tersebut dan memahami konteks sejarah serta spiritual yang melatarbelakanginya.
Ketiga, meskipun silsilah tarekat Wali Songo tidak dapat dilacak dengan jelas, nilai-nilai yang diajarkan oleh para wali tetap relevan dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Toleransi, kerukunan, dan kepedulian sosial adalah beberapa nilai yang dapat diambil dari ajaran Wali Songo dan diteruskan oleh generasi penerus, meskipun tanpa adanya silsilah yang jelas.
Secara keseluruhan, thoriqoh Wali Songo merupakan suatu perjalanan spiritual yang kompleks dan beragam. Melalui pendekatan yang berbeda-beda, para wali berhasil menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang sesuai dengan konteks lokal, sehingga menciptakan suatu bentuk keagamaan yang kaya dan dinamis. Dengan memahami tarekat Wali Songo sebagai jaringan spiritual yang beragam, kita dapat lebih menghargai kontribusi mereka dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara dan pentingnya nilai-nilai yang mereka ajarkan dalam kehidupan masyarakat saat ini. Klaim-klaim sebagai pewaris silsilah thoriqoh Wali Songo perlu ditanggapi dengan hati-hati, dengan mempertimbangkan konteks sejarah dan relevansi nilai-nilai yang diajarkan oleh para wali.
Thoriqoh dan Sanad Guru
Pada era Nusantara kuno, thoriqoh lebih mengedepankan hubungan antara murid dan guru daripada sekadar aliran tarekat yang terpisah. Contohnya adalah Syaikh Abdul Rauf Singkel adalah pada hubungan spiritual dengan guru, bukan sekadar pada aliran thoriqoh. Jejak Syaikh Abdul Rauf Singkel yang hidup pada tahun 1600 masih kuat terdokumentasi, begitu juga dengan Syaikh Yusuf Makassari, yang merupakan saudara seperguruan Abdul Rauf. Meskipun Syaikh Yusuf lebih dikenal sebagai mursyid tarekat Khalwatiyah, penting untuk dicatat bahwa ia juga memiliki banyak kemursyidan yang tidak terbatas pada satu aliran saja. Hal ini menunjukkan bahwa para wali mursyid kuno tidak hanya terikat pada satu jalur thoriqoh, melainkan memiliki berbagai jalur spiritual yang saling melengkapi.
Tantangan Penelitian thoriqoh Wali Songo
Penelitian mengenai thoriqoh Wali Songo pada era 1400-1500 menghadapi tantangan besar, terutama karena manuskrip yang digunakan sebagai dasar klaim sering kali ditulis pada abad ke-18, yang merupakan sumber eksternal dan sering kali ditulis oleh orientalis. Oleh karena itu, klaim sepihak mengenai tarekat tertentu yang dianut oleh Wali Songo, seperti menyatakan bahwa Sunan A adalah Naqsabandiyah atau Sunan B adalah Syathoriyah, perlu dipertanyakan. Klaim tersebut sering kali lemah dan tidak didukung oleh bukti yang kuat.
Aliran Tasawuf dan Silsilah
Berdasarkan naskah Babad Tanah Jawi versi Drajat, Sunan Ampel / Raden Rahmat mengajarkan ilmu tasawuf melalui praktik suluk sesuai dengan ajaran thoriqoh Naqsyabandiyah (dalam kutipan disebutkan bahwa Raden Paku belajar di bawah bimbingan Sunan Ngampeldenta, mencakup semua ilmu, baik syariat maupun thoriqoh, serta hakikat, dan mengajarkan suluk dalam wirid Naqsyabandiyah). Dengan mengajarkan ilmu tasawuf, Raden Rahmat pada saat itu dianggap setara dengan para guru suci Syiwais yang memiliki wewenang untuk melakukan diksha (baiat) dan diberikan gelar kehormatan sebagai "susuhunan".
Oleh karena itu, gelar "susuhunan" atau "sunan" yang diberikan kepada Raden Rahmat, yang dikenal sebagai Susuhunan Ampel atau Sunan Ampel, memiliki dua makna yang saling mendukung. Pertama, sebutan "susuhunan" atau "sunan" diberikan kepada Raden Rahmat karena posisinya sebagai Raja (Bhupati) Surabaya yang tinggal di Ampel, sehingga ia disebut Susuhunan atau Sunan Ampel. Kedua, sebutan tersebut juga diberikan karena Raden Rahmat berperan sebagai guru suci di Dukuh Ampel yang memiliki kewenangan untuk melakukan diksha (baiat) kepada para murid rohaninya.
Dalam catatan silsilah Bupati Gresik pertama, Kyai Tumenggung Pusponegoro, terdapat referensi mengenai thoriqoh Syathariyah yang menyebut Syaikh Maulana Ishak dan Raden Paku (Sunan Giri) sebagai guru, yang menunjukkan bahwa aliran tasawuf yang diajarkan oleh keduanya adalah Tarekat Syathariyah. Kisah Syarif Hidayat dalam menuntut ilmu juga dipenuhi dengan narasi yang memerlukan penafsiran untuk memahami kebenaran historisnya. Dalam Sajarah Wali, diceritakan bahwa Syarif Hidayat berguru kepada Syaikh Najmurini Kubro di Mekkah, mempelajari tarekat Naqsyabandiyah, tarekat Istiqoi, dan tarekat Syathariyah hingga mencapai makrifat, sehingga ia dianugerahi nama Madzkurallah. Setelah menyelesaikan pembelajaran tarekat Syadziliyah, Syarif Hidayat yang kemudian mendapatkan nama baru Arematullah, diperintahkan oleh gurunya untuk melanjutkan belajar kepada Syaikh Datuk Sidiq di Pasai, yang merupakan ayahanda Sunan Giri.
Dalam Serat Walisana, Syaikh Lemah Abang yang sebenarnya adalah seorang tukang sihir bernama San Ali Anshar, tidak diterima untuk berguru kepada Sunan Giri, tetapi berusaha untuk memperoleh ilmu rahasia dari beliau. Di sisi lain, menurut tradisi lisan yang diyakini oleh penganut Tarekat Akmaliyah, Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar adalah putra Ratu Cirebon yang ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam di seluruh Jawa dengan membuka pedukuhan-pedukuhan yang dikenal sebagai Lemah Abang, yang tersebar dari Banten di barat hingga Banyuwangi di timur.
Naskah Negara Kretabhumi Sargha III pupuh 77 mencatat bahwa Abdul Jalil, saat dewasa, pergi menuntut ilmu ke Persia dan tinggal di Baghdad selama 17 tahun. Ia berguru kepada seorang mullah Syiah Muntadhar (Syi’ah Imamiyah) dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan agama. Dalam tradisi lisan di kalangan penganut Tarekat Akmaliyah, mullah Syiah Muntadhar tersebut dikenal sebagai Abdul Malik al-Baghdadi dan kelak menjadi mertua Syaikh Lemah Abang. Selama di Baghdad, Abdul Jalil lebih tertarik pada ilmu tasawuf, sehingga ia mendalami ilmu tersebut secara mendalam. Karena ketertarikan ini, ia berguru kepada Syaikh Ahmad yang menganut aliran Tarekat Akmaliyah, yang silsilahnya sampai kepada Abu Bakar as-Shiddiq ra.
Tarekat Rifa’iyah, yang dikenal memiliki kemampuan magis-mistis, masuk ke Nusantara, khususnya Jawa, dan berhadapan langsung dengan penganut Bhairawa-tantra yang juga dikenal memiliki kekuatan magis. Terdapat jejak-jejak dari aliran Tarekat Rifa’iyah yang diasosiasikan dengan Syaikh Ahmad Rifa’i al-Baghdady, yang telah berasimilasi dengan ajaran Bhairawa-tantra dalam bentuk amaliah yang disebut Dzikir Ojrat Ripangi, sebagaimana terungkap dalam Suluk Lontang dan Serat Centini. Dzikir Ojrat Ripangi adalah suatu upacara kenduri di mana jamaah laki-laki dan perempuan membentuk lingkaran dengan sajian makanan di tengahnya.
Kesimpulan
Tarekat Wali Songo tidak dapat dipandang sebagai satu aliran tunggal, melainkan sebagai jaringan spiritual yang kaya dan beragam. Para wali mursyid kuno memiliki banyak jalur tarekat yang saling melengkapi, dan klaim sepihak mengenai aliran tertentu yang dianut oleh mereka sering kali tidak didukung oleh bukti yang kuat. Oleh karena itu, penting untuk memahami konteks sejarah dan spiritual yang lebih luas dalam penelitian mengenai tarekat Wali Songo. Dengan demikian, kita dapat menghargai warisan spiritual yang telah ditinggalkan oleh para wali ini dan memahami bagaimana mereka membentuk wajah Islam di Nusantara.
Oleh : PERJUANGAN WALI SONGO
web.facebook.com/qsantri.eu.org?apps.apple