Sidebar ADS

POLEMIK NASAB BAALAWI DAN KETERHUBUNGAN PASAR AGAMA‼️

POLEMIK NASAB BAALAWI DAN KETERHUBUNGAN PASAR AGAMA 

Sejak Kyai Imaduddin Utsman membeberkan hasil penelitian tentang kurang validnya bukti sejarah klan Ba’alwi sebagai keturunan (nasab) Nabi Muhammad SAW, polemik terus meluas dan melibatkan banyak aktor. Sialnya, isu yang diperdebatkan terkait sejarah, yang hampir semua sejarawan menyadari, tidak mudah mengungkap fakta historis yang sebenarnya. Ada banyak kepentingan, sekaligus tangan-tangan kekuasaan yang riskan mengintervensi penulisan sejarah. Apalagi, kejadiannya sudah melewati sekian abad.

Keturunan Nabi, dianggap sebagai sesuatu yang sakral bagi sebagian umat Islam. Terlebih, untuk masyarakat Indonesia yang kental dengan budaya patriarkhal sekaligus feodal. Dari sini penelaahan terhadap isu nasab dapat menarik kita pada konsepsi individu sebagai pembuat keputusan rasional yang memilih agama berdasarkan manfaat yang mereka peroleh, mirip dengan bagaimana konsumen memilih barang dan jasa dalam prinsip-prinsip ekonomi dan pasar.

Sejumlah sarjana mengungkap mekanisme pasar pada semua agama (Iannacone, 1998; McCleary, 2011). Seperti halnya pasar, di dalamnya ada relasi penawaran dan permintaan terhadap produk atau layanan spiritual. Agama, dalam konteks ini, dipahami sebagai institusi yang menawarkan nilai-nilai, keyakinan, dan praktik yang "dijual" kepada masyarakat. Berikutnya, masyarakat memilih pandangan agama atau aliran tertentu, berdasarkan preferensi pandangan keagamaan mereka.

Masalahnya, produsen yang memproduksi isu agama tidak tunggal. Ini memungkinkan terjadinya konflik kepentingan, antara satu produsen dengan produsen lainnya. Kelompok produsen saling berebut konsumen satu sama lain. Penawaran agama pun bervariasi, tergantung permintaan konsumen. Di Indonesia dengan ragam keyakinan sekaligus mistik, penawaran agama, tentu disesuaikan dengan selera pasar.

Mekanisme pasar pun ini bisa menjelaskan fenomena polemik berkepanjangan terkait isu nasab. Sakralitas keturunan Nabi “memungkinkan” dikapitalisasi oleh kelompok tertentu, untuk menguasai pasar. Pada teori pasar agama, beberapa analisis bisa menjelaskan, kenapa ini terjadi.

Pertama, sakralisasi dan kapitalisasi. Pada teori pasar agama, pihak-pihak yang memiliki "produk" religius yang kuat, akan memiliki keuntungan kompetitif. Dalam konteks ini, status keturunan Nabi, dapat dilihat sebagai "produk religius" dengan nilai sakralitas yang tinggi. Dengannya, sebuah kelompok dapat menarik lebih banyak konsumen, yang mencari keberkahan atau legitimasi spiritual. Produk religius ini tentu mengganggu kepentingan kelompok produsen yang lain. Maka, kompetisi menjadi sesuatu yang tidak terelakkan.

Kedua, monopoli dan kontrol. Pada teori pasar agama, monopoli terjadi ketika produsen agama memiliki kendali penuh atas sumber daya religius tertentu, dalam hal ini status sebagai keturunan Nabi. Kelompok tersebut “bisa jadi” berupaya mempertahankan dan memonopoli pengaruh, termasuk dengan membangun berbagai narasi yang menguntungkan mereka. Di lain pihak, tuduhan bahwa ada kelompok yang dengan sengaja membelokkan sejarah atau menciptakan cerita mistik, dapat dilihat sebagai produsen agama di pihak lain yang merasa terganggu.

Ketiga, pengaruh sosial dan ekonomi. Analisis ini menekankan bahwa “pasar agama” tidak lepas dari pengaruh sosial dan ekonomi. Status keturunan Nabi tidak hanya membawa pengaruh religius tetapi juga sosial dan ekonomi. Dengan status tersebut, seseorang atau kelompok dapat memperoleh kehormatan, dukungan sosial, bahkan kekayaan material. Oleh karena itu, kontroversi seputar klaim keturunan Nabi bisa jadi juga terkait dengan pertarungan untuk mendapatkan keuntungan sosial dan ekonomi dari status tersebut.

Keempat, persaingan dalam pasar agama. Akhirnya, berlarutnya polemik nasab ini bisa dianalisis dari adanya persaingan dalam pasar agama. Ketika semakin banyak orang yang menggugat status keturunan Nabi, pasar agama ini menjadi lebih kompetitif, tidak lagi dimonopoli oleh kelompok tertentu.

Sebagaimana disinggung sebelumnya, produsen agama, dipengaruhi oleh preferensi konsumen agama, dan begitu pun sebaliknya. Jika konsumen agama melihat kualitas seseorang dari kepribadian, sejauh mana kebermanfaatannya bagi kehidupan, maka isu nasab tidak akan meluas dan berlarut seperti yang terjadi saat ini.

Padahal, memandang seseorang dari kualitas kemanusiaan, memiliki legitimasi kuat pada Islam. Q.S Al Hujurat (49:13), secara eksplisit menyatakan, orang yang paling mulia di sisi Allah adalah takwanya, bukan keturunannya. Lebih dari itu, pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan, bahwa jika Fatimah putra Nabi mencuri, maka tidak ada keistimewaan baginya, karena Nabi sendiri yang akan menghukumnya.

Konsumen yang memahami agama secara rasional, tidak akan menjadikan isu nasab sebagai isu utama. Dalam Al-Qur’an, konsep rasionalitas berupa perintah berpikir, memahami, dan merenung disebutkan dalam bentuk kata kerja seperti "ya'qilun" (mereka berpikir), "ta'qilun" (kalian berpikir), dan "aqala" (dia berpikir). Secara keseluruhan, kata-kata yang berkaitan dengan penggunaan rasionalitas (akal) ini disebutkan 49 kali dalam Al-Qur'an.

Penggunaan rasionalitas dalam memahami Islam akan menuntun umatnya untuk produktif. Misi utama Islam adalah terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan (Q.S. Al-Baqarah, 2:177), keadilan (Q.S. An-Nisa, 4:135), kesejahteraan (Q.S. Al-Hashr, 59:7), perdamaian (Q.S. Hujurat, 49:10), dst. Maka, siapapun yang berupaya sungguh-sungguh mewujudkan berbagai isu utama diatas, merekalah “keturunan Nabi” sesungguhnya. Karena, merekalah yang meneruskan perjuangan Nabi.

Saat ini, problem kemanusiaan yang seharusnya menjadi tantangan umat Islam sangat banyak. Ada masalah lingkungan, kesehatan, kebodohan, pengangguran, kejahatan, dst. Islam, akan menjadi agama mulia sebagaimana yang dijanjikan, jika fokus pada pelbagai isu kemanusiaan di atas (Q.S. Al-Ma'idah, 5:8) Nabi memang figur mulia. Sangat pantas dimuliakan, termasuk keturunannya. Tapi, jangan sampai memuliakan keturunan Nabi, malah justru mengorbankan misi utama kenabian itu sendiri, yakni kemanusiaan.

Oleh : PERJUANGAN WALI SONGO 
web.facebook.com/qsantri.eu.org?apps.apple

إرسال تعليق

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

أحدث أقدم
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS