Sidebar ADS

MENGUJI MITOS DAN KULTUS: WAKTU FATWA HABIB MENYEREMPET HAKNYA TUHAN‼️

MENGUJI MITOS DAN KULTUS: WAKTU FATWA HABIB MENYEREMPET HAKNYA TUHAN 

Di tengah meningkatnya perhatian publik terhadap konten keagamaan di media sosial, muncul fenomena yang patut dicermati: glorifikasi berlebihan terhadap sebagian tokoh agama, terutama mereka yang berasal dari keluarga Ba’alwi. Tidak sedikit dari pernyataan yang diunggah dalam ceramah atau siaran publik oleh para tokoh yang disebut "habib" ini telah menimbulkan kegaduhan, bahkan keresahan, karena mengandung klaim-klaim luar biasa, bahkan menggugurkan logika dasar agama dan ilmu pengetahuan.

Dari habib yang disebut bisa memadamkan api neraka, mengusir malaikat maut di kubur, hingga mi'raj 70 kali dalam satu malam, publik dikejutkan oleh narasi-narasi yang dinilai tidak memiliki dasar dalam teks-teks otoritatif agama Islam. Dalam banyak kasus, klaim-klaim ini tidak hanya memicu kritik dari para intelektual muslim, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar: apakah kita sedang menyaksikan pembentukan kultus pribadi yang menyerempet wilayah ketuhanan?

"Glorifikasi Berlebihan"

Beberapa pernyataan berikut yang tersebar luas melalui rekaman ceramah atau video digital menunjukkan pola glorifikasi yang ekstrem:
• "Habib bisa memadamkan api neraka."
(Disampaikan oleh Ali Jindan, beredar luas di YouTube dan TikTok)
• "Habib tidak tidur selama 33 tahun."
(Pernyataan Bahar Smith dalam ceramahnya di berbagai daerah)
• "Habib Mi’raj 70 kali dalam satu malam."
(Reyhan Al Qadri, salah satu tokoh ceramah muda)
• "Habib bisa hidupkan orang mati."
(Kembali disampaikan oleh Ali Jindan dalam majelisnya)
• "Yang mengoreksi Habib adalah Iblis."
(Novel Alaydrus, video ceramah tersebar di TikTok dan YouTube)
Klaim-klaim ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam Islam yang menyatakan hanya Allah-lah yang memiliki kekuasaan mutlak atas alam semesta, kematian, kehidupan, dan ampunan. Bahkan dalam ajaran Islam, para nabi sekalipun tidak memiliki kemampuan absolut seperti yang digambarkan dalam pernyataan-pernyataan tersebut.

"Problem Teologis dan Sosiologis"

Prof. Dr. Manachem Ali, pakar filologi dari Universitas Airlangga, dalam beberapa tulisannya menyatakan bahwa kultus keturunan—apalagi jika berujung pada pengkultusan melebihi rasul atau nabi—merupakan bentuk penyimpangan dari esensi ajaran Islam. Dalam sejarah Islam, tidak ada keturunan nabi pun yang diistimewakan oleh Allah dalam hal keselamatan tanpa amal.
Hal ini diperkuat oleh pandangan KH Imaduddin Utsman al Bantani, peneliti sejarah dan silsilah, yang menekankan pentingnya menjauhkan agama dari kebohongan dan manipulasi silsilah, apalagi jika digunakan sebagai alat kekuasaan spiritual atas masyarakat.
Dari aspek genetika, Dr. Sugeng Sugiarto, pakar DNA genealogi, juga menyoroti bahwa klaim keturunan Nabi seharusnya dapat diverifikasi melalui metode ilmiah seperti uji haplogroup, bukan sekadar berdasarkan pengakuan lisan atau narasi satu arah.

"Tantangan Bagi Warga Nahdliyin"

Yang menjadi perhatian khusus adalah bagaimana klaim-klaim luar biasa ini diarahkan secara halus kepada komunitas Nahdliyin (NU), kelompok muslim terbesar di Indonesia yang dikenal moderat dan cinta ulama. Dalam banyak ceramah, muncul retorika bahwa:
• "Cukup cinta habib, maka bebas dari siksa kubur."
• "Orang Indonesia bisa baca tahlil berkat habib."
• "Indonesia ini milik Aulia Tarim."
Retorika semacam ini bukan hanya melanggengkan mitos keagungan tanpa dasar, tapi juga menyempitkan ruang berpikir kritis umat, seolah menolak rasionalitas dalam beragama dan mendegradasi peran ulama-ulama pribumi yang berjuang tanpa embel-embel keturunan Arab.

"Bahaya Kultus yang Tak Terkendali"

Menurut sosiolog agama Dr. Rumadi Ahmad, glorifikasi yang berlebihan terhadap tokoh agama tertentu dapat mengarah pada pembentukan oligarki spiritual, di mana masyarakat merasa perlu "taat buta" demi keselamatan akhirat. Ini sangat berbahaya, karena membuka celah bagi penyalahgunaan otoritas agama untuk kepentingan duniawi.
Lebih jauh, klaim-klaim supranatural semacam ini—seperti menghidupkan orang mati, atau memerintah malaikat—tidak hanya tidak sesuai dengan ajaran Islam, tetapi juga melanggar akal sehat, menjerumuskan masyarakat ke dalam jebakan takhayul yang sistematis.

"Saatnya Umat Islam Kembali ke Akal dan Wahyu"

Islam adalah agama yang menjunjung akal sehat (aql) dan wahyu (naql). Tidak ada ajaran dalam Al-Qur’an maupun hadis sahih yang mengatakan bahwa keturunan siapa pun dijamin masuk surga atau memiliki kekuasaan ilahiah. Nabi Muhammad SAW sendiri bersabda:
"Barang siapa yang lambat amalnya, maka nasabnya tidak akan mempercepatnya (masuk surga)."
(HR Muslim)
Masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, perlu diajak untuk kembali kepada ajaran Islam yang rasional, adil, dan berdasarkan ilmu, bukan tunduk pada narasi-narasi fantastis yang menyimpang dari prinsip tauhid.

#Penutup

"Perlu Literasi dan Ketegasan"
Masyarakat Indonesia perlu meningkatkan literasi agama dan sejarah, agar tidak mudah tertipu oleh narasi-narasi tak berdasar. Negara juga perlu hadir melalui edukasi dan moderasi dakwah. Namun, kritik harus tetap disampaikan secara elegan, intelektual, dan berlandaskan hukum.
Ini bukan soal membenci kelompok tertentu, tapi soal menjaga kemurnian ajaran Islam dari kemusyrikan yang dibungkus dengan selendang keagungan palsu.

#Catatan_Redaksi:
Seluruh informasi dalam tulisan ini dirangkum dari berbagai sumber ceramah yang sudah beredar luas di media sosial dan dikaji dari perspektif keislaman, sejarah, dan sosial. Tulisan ini bukan serangan personal, melainkan edukasi publik demi menjaga nalar sehat umat dan marwah agama.
Jika Anda menemukan fakta berbeda, kami terbuka untuk menerima tanggapan dan klarifikasi dari pihak-pihak yang disebutkan.


Oleh : PERJUANGAN WALI SONGO 
web.facebook.com/qsantri.eu.org?apps.apple

إرسال تعليق

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

أحدث أقدم
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS