MENGAPA OTTOMON TAK BISA MENYELAMATKAN SILSILAH BAALAWI
Sebuah argumen populer kembali beredar di media sosial. Rumail Abbas, salah satu pembela garis keras klaim keturunan Ba’alwi dari Nabi Muhammad SAW, menyodorkan narasi baru. Ia menunjuk pada pemerintahan Sultan Sulaiman al-Qanuni dari Kekhalifahan Ottoman sebagai “bukti tidak langsung” bahwa nasab Ba’alwi adalah sah. Alasannya sederhana: tidak ada satu pun Ba’alwi yang dihukum karena pemalsuan nasab pada masa itu.
Bagi sebagian orang, argumen ini terlihat kokoh. Namun jika dicermati secara lebih dalam, bangunan logikanya rapuh. Bahkan bisa runtuh hanya dengan satu pertanyaan: apakah benar tidak dihukum berarti tidak bersalah?
Logika dari Kekosongan
Argumen utama Rumail Abbas bertumpu pada ketiadaan. Jika tak ada Ba’alwi yang dihukum oleh otoritas Ottoman karena memalsukan nasab, maka Ba’alwi pasti keturunan Nabi. Ini yang oleh kalangan akademik dikenal sebagai argumentum ex silentio—berpikir bahwa sesuatu itu benar karena tidak ada bukti yang menyangkalnya.
Padahal, tidak adanya vonis bukanlah bukti kebenaran. Korupsi tidak hilang hanya karena tidak ada yang dipenjara. Kejahatan tidak otomatis sah hanya karena tak dihukum. Dalam sejarah, banyak yang lolos dari jerat hukum karena hukum tak menjangkaunya.
Ottoman Tidak Pernah Menguasai Hadramaut
Kelemahan kedua, lebih fundamental: wilayah Hadramaut—asal mula klaim Ba’alwi—tidak berada di bawah otoritas Kekhalifahan Ottoman pada masa Sultan Sulaiman al-Qanuni (926–974 H). Artinya, lembaga Naqib al-Asyraf, yang diklaim sebagai lembaga pencatat keturunan Nabi, tidak pernah memiliki yurisdiksi di tanah Ba’alwi berasal.
Menurut Stanford J. Shaw dalam History of the Ottoman Empire, sistem administrasi Ottoman terbatas pada wilayah Hijaz, Syam, Irak, dan Mesir. Hadramaut, Yaman Selatan, bukan bagian dari peta kekuasaan itu. Maka argumen bahwa Ba’alwi tidak dihukum oleh lembaga Naqib Ottoman menjadi tidak relevan. Tidak ada yurisdiksi, tidak ada kewenangan. Dan tentu, tidak ada investigasi.
Ditolak oleh Naqobah Asyrof Sendiri
Argumen Rumail Abbas juga runtuh di hadapan fakta resmi dari Naqobah Asyrof At-Tholibiyin, lembaga otoritatif dalam pencatatan nasab keturunan Nabi. Dalam kitab As-Suyuful Mujliyah karya Dr. Yasin Al-Kalidari Al-Musawi Al-Hasyimi, nasab Ba’alwi dinyatakan batal.
Isi kitab tersebut menyebutkan:
“...dan sungguh telah menghubungkan nasabnya yang palsu kepada nasab Alwi Al-Hadromi yang palsu!! Kami dan semua pakar ilmu nasab telah mengetahui bahwa sesungguhnya di dalam nasab Ba’alwi terdapat dalil yang pasti dan tampak jelas akan batalnya pengakuan...”
Penolakan ini bukan hanya berupa keraguan, melainkan pembatalan penuh berdasarkan metodologi ilmu nasab yang diakui oleh para pakar Alawiyin sendiri. Maka, ketika Ottoman bahkan tidak pernah menyentuh Hadramaut, lembaga resmi nasab justru secara aktif menyatakan nasab Ba’alwi tidak sah.
Silsilah Tanpa Dokumen Primer
Isu yang lebih krusial dalam diskusi ini adalah substansi ilmiah dari silsilah itu sendiri. Salah satu mata rantai penting dalam silsilah Ba’alwi adalah sosok fiktif: Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Nama ini tidak ditemukan dalam manuskrip dan dokumen abad ke-3 hingga ke-5 Hijriyah. Ia baru muncul ratusan tahun kemudian, dalam karya seorang penulis abad ke-9 H, Ali bin Abi Bakr al-Sakran.
Masalahnya, karya Ali al-Sakran pun tidak disertai sumber primer. Ia menyusun silsilah tanpa rujukan kuat ke kitab tabaqat atau tarikh yang sezaman. Dalam dunia filologi, ini mengindikasikan rekayasa sejarah atau setidaknya interpolasi.
“Jika satu nama tidak disebut dalam karya biografis besar sezamannya, maka kehadirannya patut dicurigai sebagai fabrikasi belakangan,” ujar Prof. Dr. Manachem Ali, akademisi dan pakar filologi dari Universitas Airlangga.
Bukti Genetik yang Berseberangan
Masih ada satu aspek lagi yang mengguncang klaim nasab: ilmu genetika. Penelitian mutakhir tentang Y-DNA oleh pakar genetika dunia, Dr. Michael Hammer dari University of Arizona, menunjukkan bahwa keturunan biologis Nabi Muhammad SAW dari jalur Hasan-Husain berada pada haplogroup J1-CMH. Namun sejumlah besar hasil tes DNA dari kelompok yang mengklaim nasab Ba’alwi justru menunjukkan haplogroup G (G-M201), yang secara biologis tidak memiliki keterkaitan langsung dengan jalur Nabi.
Dengan kata lain, secara historis tidak ditemukan dokumen primer, secara filologis meragukan, dan secara genetika tidak nyambung. Maka, tidak adanya tangan yang dipotong di masa Ottoman tidak serta-merta menyambung nasab ke Rasulullah.
Membentengi Diri dengan Emosi
Ketika Rumail Abbas bertanya, “Jika Sayyid Ali al-Sakran memalsukan nasab, mengapa tidak dihukum Ottoman?”—ia tak sadar sedang membangun benteng dari retorika, bukan dari data. Sejarah dan ilmu pengetahuan tidak dibangun di atas asumsi ketiadaan, melainkan atas kehadiran bukti.
Jika memang serius ingin membela klaim nasab, maka yang seharusnya dibuktikan adalah:
• Adakah dokumen abad ke-3 hingga ke-5 H yang menyebut nama Ubaidillah bin Ahmad?
• Adakah silsilah dengan sanad tertulis otentik yang disusun pada masa hidup para tokohnya?
• Adakah kecocokan DNA dengan haplogroup J1-CMH(Cohen Modal Haplotype)?
Sayangnya, ketiga pertanyaan itu belum pernah dijawab oleh para pembela Ba’alwi—termasuk Rumail Abbas.
Penutup: Waktu yang Akan Menyaring Kebenaran
Kebenaran sejarah tidak ditentukan oleh popularitas atau retorika. Ia diuji oleh dokumen, oleh data, dan kini juga oleh DNA. Dalam dunia akademik yang jujur, nasab bukan sekadar soal kehormatan. Ia adalah fakta historis yang bisa diverifikasi. Jika tidak bisa diverifikasi, maka ia tidak bisa diklaim.
Atau dalam bahasa sains: "yang luar biasa, butuh bukti yang luar biasa"
Ottoman tidak pernah menyelamatkan klaim yang tak pernah mereka sentuh. Tapi sains, sejarah, dan ilmu nasab yang jujur hari ini—telah menyuarakan penolakannya secara terang.
Oleh : PERJUANGAN WALI SONGO
web.facebook.com/qsantri.eu.org?apps.apple