Sidebar ADS

MELURUSKAN KLAIM IJMA: TES DNA DALAM PENETAPAN NASAB MENURUT ULAMA SUNNI ASWAJA‼️

MELURUSKAN KLAIM IJMA: TES DNA DALAM PENETAPAN NASAB MENURUT ULAMA SUNNI ASWAJA 

 1. Penjelasan keliru soal ‘ijma’ ulama’

Klaim “ijma’ ulama fuqaha” bahwa tes DNA tidak bisa dipakai untuk menetapkan nasab adalah klaim yang tidak sahih.

👉🏽 Ijma’ (konsensus) adalah sesuatu yang disepakati seluruh ulama mujtahid dari berbagai madzhab, dan tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka.
Namun faktanya, banyak ulama Aswaja kontemporer berbeda pendapat soal ini. Maka, klaim "ijma’" ini gugur secara ushul fiqih.

👉🏽 Imam Al-Amidi dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam berkata:
 "Tidak sah disebut ijma’ jika masih ada satu mujtahid saja yang menyelisihinya."

 2. Ulama Aswaja yang menerima DNA sebagai qarinah (indikasi kuat) nasab

Banyak ulama Sunni Aswaja kontemporer justru membolehkan tes DNA sebagai alat bantu dalam penetapan atau penolakan nasab, terutama dalam konteks modern dan kasus-kasus yang tidak jelas nasabnya.

✅ Fatwa Majma’ al-Fiqhi al-Islami (OKI) Tahun 2004 (Mekkah):

 “Tes DNA dapat dijadikan qarinah (indikator kuat) dalam penetapan nasab, tetapi bukan satu-satunya dalil yang berdiri sendiri kecuali dalam kondisi darurat atau ketika tidak ditemukan bukti lain.”

✅ Syekh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi (Asy’ari-Sufi):

Dalam banyak fatwanya, beliau menyebutkan bahwa teknologi modern seperti tes DNA bisa digunakan sebagai qarinah ilmiah dalam penetapan nasab bila tidak ada bukti syar’i lain.

✅ Syekh Ali Jum’ah (mantan Mufti Mesir, Asy’ari):

 "Tes DNA boleh dipertimbangkan untuk penetapan nasab yang hilang atau kasus sengketa, asalkan diiringi dengan kaidah-kaidah hukum syar’i.”

 3. Kesalahan memahami konsep "syuhrah wa istifadhah"

Mengandalkan syuhrah (terkenal) dan istifadhah (tersiar) di masyarakat tidak cukup dalam banyak kasus nasab yang dipalsukan.

👉🏽Dalam sejarah Islam sendiri, nasab palsu juga bisa tersebar secara syuhrah, terutama jika dimanfaatkan secara politik, ekonomi, atau agama.

👉🏽 Contoh: dalam kasus pengakuan dzurriyyah Nabi di berbagai negeri, banyak ulama mengingatkan bahayanya nasab mawdhu' (palsu) yang disebarkan melalui jalur lisan dan syuhrah tanpa bukti tertulis atau ilmiah.

👉🏽 Imam Ibn Hajar al-Asqalani (ulama besar Asy’ari Syafi’i) dalam Taqrib at-Tahdzib menyebutkan bahwa:

 “Tidak setiap orang yang mengaku keturunan Nabi boleh dipercaya, karena banyak yang mengaku-ngaku.”

4. Bukti ilmiah dan maqasid syariah: menjunjung kebenaran nasab

👉🏽 Ilmu genetika (DNA) adalah ilmu qath’i (pasti) yang bisa mendeteksi hubungan biologis dengan akurasi lebih dari 99,9%. Dalam syariat, semua hal yang membantu penegakan keadilan dan kebenaran bisa digunakan selama tidak melanggar prinsip syar’i.

💥Kaedah Ushul Fiqih:

> الوسائل لها أحكام المقاصد "Sarana mengikuti hukum tujuan."
Maka jika DNA adalah sarana menjaga kejelasan nasab (tujuan maqasid), maka hukumnya diperbolehkan, bahkan bisa jadi wajib dalam kondisi tertentu.
---
 👉🏽 Kesimpulan dan nasihat ilmiah:

Tidak benar ada ijma’ bahwa DNA tidak sah digunakan dalam penetapan nasab.

DNA bisa digunakan sebagai qarinah (bukti kuat), apalagi dalam kasus nasab yang hilang, diragukan, atau banyak dipalsukan seperti kasus klaim Ba’alawi.

Syuhrah dan istifadhah tidak cukup, apalagi di era fitnah dan manipulasi silsilah.

Ulama Aswaja kontemporer banyak yang menerima DNA sebagai alat bantu demi maqasid syariah: menjaga keturunan (hifzh an-nasab).

web.facebook.com/qsantri.eu.org?apps.apple

إرسال تعليق

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

أحدث أقدم
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS