JEJAK GENETIKA BAALAWI YAHUDI: DI ANTARA KLAIM ARAB QURAISY DAN TEMUAN DNA
Di tengah perdebatan ihwal kebenaran garis keturunan Ba’alwi sebagai dzurriyah Nabi Muhammad SAW, muncul temuan ilmiah yang menarik: sejumlah individu yang mengklaim berasal dari klan Ba’alwi ternyata membawa haplogroup DNA yang identik dengan yang ditemukan pada komunitas Yahudi Ashkenazi. Ini bukan tudingan agama, melainkan catatan ilmiah berdasarkan penelitian genetik lintas disiplin.
Genetika: Sains Tak Mengenal Keyakinan
Kajian genetika tidak berbicara soal akidah. Dalam ilmu ini, istilah seperti “Yahudi Ashkenazi” bukan merujuk pada agama Yahudi, tetapi pada komunitas etno-genetik yang memiliki pola keturunan tertentu, terutama pada jalur Y-DNA (paternal line). Ketika seseorang memiliki haplogroup Y yang sama dengan komunitas Ashkenazi, itu berarti mereka memiliki nenek moyang biologis laki-laki yang sama atau berdekatan—terlepas dari agama yang dipeluk oleh keturunannya hari ini.
Klaim dan Validasi
Klaim bahwa klan Ba’alwi merupakan dzurriyah Nabi Muhammad SAW tentu bukan soal ringan. Klaim semacam itu, bila dimunculkan ke ruang publik dan dipakai sebagai legitimasi sosial maupun keagamaan, perlu diuji kebenarannya. Dalam sains modern, pengujian itu bisa dilakukan lewat pendekatan genetik.
Sayangnya, sejumlah hasil uji DNA terhadap individu yang mengaku keturunan Ba’alwi justru menunjukkan haplogroup yang tidak beririsan dengan jalur yang diyakini sebagai milik keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Quraisy—yakni haplogroup J1-FT44548 (turunan J1-L859). Bahkan beberapa hasilnya beririsan dengan haplogroup J2 atau varian dari J1-Z640, yang kerap ditemukan di komunitas Yahudi Ashkenazi dan kelompok Levantin non-Quraisy.
Kebetulan atau Kontradiksi?
Muncul argumen bahwa “meski berasal dari leluhur Yahudi, kalau sekarang Muslim ya bukan Yahudi lagi”. Secara teologis, tentu pernyataan ini bisa diterima. Namun, jika narasinya menyangkut nasab biologis yang dijadikan dasar kehormatan dan keistimewaan sosial, maka aspek genetik tetap menjadi validasi yang tidak bisa diabaikan.
Dengan kata lain, jika seseorang mengklaim sebagai keturunan Nabi—yang merupakan figur sejarah nyata—maka klaim itu harus tunduk pada metode pembuktian ilmiah. Jika ternyata hasil genetiknya menunjukkan leluhur yang tidak berasal dari Arab Hijaz atau Quraisy, maka klaim tersebut logis untuk dipertanyakan, bahkan dibantah.
Kebutuhan Literasi Sains
Apa yang dibutuhkan saat ini bukan emosi atau glorifikasi, tetapi literasi sains dan keterbukaan terhadap data. DNA tidak memihak ideologi. Ia hanya mencatat jejak biologis manusia selama ribuan tahun. Dan dalam dunia yang makin mengedepankan transparansi, klaim istimewa tanpa bukti ilmiah justru rawan menjadi bumerang sosial.
Catatan Redaksi
Tulisan ini disusun berdasarkan sejumlah publikasi genetika populasi dari jurnal akademik dan basis data genetik publik. Tujuannya bukan untuk menyerang keyakinan, melainkan untuk mengajak publik berpikir kritis dan ilmiah terhadap klaim-klaim yang telah lama menjadi dogma sosial.
Oleh : PERJUANGAN WALI SONGO
web.facebook.com/qsantri.eu.org?apps.apple