KASTA NASAB DAN WARISAN KOLONIALISME YANG MASIH HIDUP
Tahukah kamu kalau di masa penjajahan, Belanda tidak hanya menguasai tanah dan kekayaan Indonesia, tapi juga mengatur status sosial masyarakat kita dengan sistem yang sangat diskriminatif?
Belanda membagi penduduk Hindia Belanda ke dalam tiga golongan besar:
1. Golongan Eropa – Orang Belanda, Eropa lainnya, termasuk Indo (campuran Eropa dan Indonesia).
2. Golongan Timur Asing – Orang Tionghoa, Arab, dan India. Mereka mendapat hak sosial dan hukum sedikit lebih baik daripada pribumi.
3. Golongan Pribumi – Penduduk asli Nusantara, yang ditempatkan pada lapisan terbawah. Terbatas akses pendidikan, kesehatan, hingga perlindungan hukum.
Namun yang sering luput dari ingatan kolektif kita adalah bagaimana sistem kolonial ini mewariskan pola pikir kasta dalam masyarakat. Di antara yang paling mencolok adalah fenomena klaim kasta nasab oleh sebagian kelompok Arab Hadrami, khususnya Klan Ba’alwi.
Ditempatkan oleh Belanda dalam posisi “Timur Asing yang terhormat”, sebagian dari mereka diberi keleluasaan dalam urusan dagang, pendidikan, hingga politik identitas. Dalam posisi ini, muncul lapisan eksklusifitas berdasarkan apa yang mereka sebut sebagai nasab sayyid atau keturunan Nabi Muhammad SAW, sebuah klaim genealogi yang tak tersentuh, tak boleh dikritik, bahkan dianggap sakral.
Di sinilah warisan kolonialisme itu masih hidup hingga hari ini. Nasab dijadikan kasta. Mereka memisahkan diri dari masyarakat umum, bahkan menolak menikah dengan golongan non-sayyid, sembari mempertahankan hierarki sosial yang tidak demokratis. Dalam praktiknya, ini adalah pengulangan sistem apartheid Belanda dalam wujud baru yang berbalut agama.
Lebih jauh, sebagian dari mereka juga menyebarkan narasi-narasi historis palsu: mengklaim para tokoh perjuangan Indonesia seperti Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, hingga pendiri Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari klan mereka. Padahal tak ada bukti historis, filologis, maupun genetik yang mendukung klaim itu. Bahkan, sebagian kuburan tokoh lokal pun diganti nisannya dan dipaksakan “bernasab Arab.”
Ini bukan sekadar penyimpangan sejarah. Ini adalah bentuk lanjutan dari penjajahan mental dan pemutusan identitas bangsa. Penggunaan nasab sebagai alat kuasa harus dihentikan. Kita tidak boleh membiarkan sejarah kelam kolonialisme bertransformasi menjadi dominasi kultural atas nama darah suci.
Bangsa Indonesia dibangun oleh semua lapisan rakyat—bukan oleh satu garis keturunan. Saatnya membongkar mitos nasab yang dijadikan alat pembeda kasta. Kita harus kembali ke akar sejarah yang otentik, dengan keberanian untuk menyatakan: tidak ada manusia yang lebih tinggi derajatnya hanya karena silsilahnya.
Sejarah adalah cermin. Jangan biarkan warisan diskriminasi ini terus bercokol dalam kehidupan kita hari ini, hanya karena kita terlalu takut untuk menghadapinya. Jika kita tidak sadar sekarang, maka penjajahan mental akan terus hidup dalam wajah yang lebih halus—lebih religius, lebih eksklusif, namun tetap menindas.
web.facebook.com/qsantri.eu.org?apps.apple