SEJARAWAN SURABAYA: AL-KHAIRAT HANYA PROYEK POLITIK ETIS BELANDA
Sejarawan asal Surabaya, Drs. Husnu Mufid, M.Pd.I, melontarkan kritik tajam terhadap sosok Habib Idrus bin Salim Al-Jufri dan lembaga pendidikan yang didirikannya, Al-Khairat. Dalam kajian sejarah yang ia sampaikan baru-baru ini, Husnu mengungkap bahwa pendirian Al-Khairat berkaitan erat dengan proyek Politik Etis Belanda, bukan perjuangan kemerdekaan rakyat Nusantara.
“Fakta sejarah menunjukkan bahwa Al-Khairat lahir sebagai bagian dari program Politik Etis, dan lebih melayani kepentingan kelas elit, khususnya Klan Ba’alwi dan kaum bangsawan, daripada kaum pribumi secara umum,” ungkap Husnu dalam pemaparannya.
Pendidikan sebagai Alat Kolonial
Politik Etis atau Ethical Policy mulai diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-20 sebagai respons terhadap kritik humanis di negeri Belanda atas eksploitasi berkepanjangan di Hindia Belanda. Salah satu pilar dari kebijakan ini adalah perluasan akses pendidikan—namun dalam praktiknya, pendidikan seringkali menjadi alat kontrol budaya dan politik terhadap masyarakat kolonial.
Menurut sejarawan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dalam karyanya Pengantar Sejarah Indonesia Baru, program pendidikan kolonial disusun untuk menciptakan priyayi baru yang loyal terhadap pemerintah Hindia Belanda. Hal ini didukung pula oleh analisis Harry J. Benda dalam The Crescent and the Rising Sun (1958), bahwa lembaga pendidikan keislaman yang diakui atau difasilitasi oleh pemerintah kolonial seringkali dipilih secara selektif, selama tidak menimbulkan ancaman terhadap stabilitas kekuasaan kolonial.
Al-Khairat dan Politik Etis
Dalam konteks itu, kata Husnu Mufid, pendirian Al-Khairat pada 1930 di Palu, Sulawesi Tengah, tidak bisa dilepaskan dari politik kolonial. “Lembaga ini tidak lahir dalam perlawanan terhadap penjajahan, tetapi sebagai bagian dari rekayasa sosial Belanda—yang menjinakkan elite-elite agama dan menjauhkan mereka dari pergerakan nasional,” ujarnya.
Husnu menambahkan bahwa berdasarkan penelusuran arsip dan dokumen kolonial, Al-Khairat semula hanya diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Arab, khususnya dari Klan Ba’alwi, serta kalangan bangsawan lokal. “Ini jelas menciptakan segregasi kelas dalam pendidikan, bertentangan dengan semangat nasionalisme yang inklusif.”
Ia merujuk pada riset Dr. Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah (2009), bahwa banyak tokoh agama yang dekat dengan kolonial justru tidak mendukung pergerakan kemerdekaan secara aktif, dan hanya berfokus pada pembinaan komunitas eksklusif mereka sendiri.
Layakkah Jadi Pahlawan?
Dengan melihat latar historis tersebut, Husnu Mufid mempertanyakan kelayakan Habib Idrus Al-Jufri diusulkan sebagai Pahlawan Nasional. “Pahlawan adalah mereka yang mengorbankan jiwa dan raga untuk kemerdekaan, bukan pelaksana proyek kolonial,” tegasnya.
Ia juga menyayangkan jika tokoh-tokoh NU mendukung pengusulan ini tanpa mempertimbangkan rekam jejak sejarah secara kritis. “Saya harap PBNU mengevaluasi kembali posisi dan sikapnya, demi menjaga kemurnian sejarah perjuangan bangsa,” kata Husnu, seraya menyampaikan permintaan agar Rois Aam PBNU KH Miftachul Akhyar dan Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf menegur Sekjen PBNU sekaligus Mensos Saifullah Yusuf (Gus Ipul) atas dukungannya terhadap usulan pahlawan tersebut.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak Kementerian Sosial maupun PBNU terkait pernyataan dan permintaan klarifikasi tersebut.