Gelar Habib (yang dicintai) dan Muhibbin (yang mencintai) Sebagai Kasta Kedudukan Tingkat Derajat
Transformasi gelar 'habib menjadi gelar klan baalwi yaman menjadi label "yang dicintai" dan 'muhibin gelar Pribumi pengikutnya sebagai "yang mencintai" bukanlah sekadar permainan semantik, melainkan manuver cerdas dalam arsitektur kasta spiritual kapitalisme yang berbalut jargon religius. Dalam hierarki ini, 'habib diposisikan sebagai puncak piramida MLM relijius, dikonstruksi sebagai entitas yang "disucikan" oleh cinta ilahiah, sementara muhibin, para pengikut yang dengan patuh mencintai, direduksi menjadi tenaga pemasar lapis bawah yang rela mengorbankan logika demi loyalitas.
Ini adalah kolonialisme spiritual yang brilian: "menjual ilusi kedekatan dengan divine melalui branding agamis yang dikemas dengan estetika psikologi pop dan jargon syariat.
Simbah ngawuliyak melihat bagaimana kapitalisme agamis ini bekerja layaknya korporasi manajemen modern. 'Habib, sebagai CEO karismatik, diidolakan sebagai titik fokus "cinta" yang tak terjangkau, sementara 'muhibin adalah sales force yang berjibaku memenuhi target pengabdian demi iming-iming up-line spiritual: pahala, barokah, syafaat atau sekadar validasi emosional.
Taqwa atau mahabbah dimanipulasi sebagai KPI (Key Performance Indicator) untuk mengukur loyalitas, mirip seperti metrik penjualan dalam startup kapitalis. Dalam paradigma ini, cinta (mahabbah) bukan lagi soal relasi egaliter, melainkan kontrak feodal yang disamarkan sebagai hubungan mutual.
Lebih jauh, kolonialisme kultural yang tersembunyi di balik glorifikasi 'habib menyerupai strategi lama penjajah: menciptakan elit lokal sebagai proxy untuk mempertahankan hegemoni. Habib menjadi brand ambassador dari narasi mistis yang menjanjikan kedekatan dengan Tuhan, sementara muhibin adalah konsumen setia yang terjebak dalam hype kapitalisme spiritual.
Ini adalah manipulasi cerdas atas kebutuhan dasar manusia akan makna dan afiliasi, dikemas dalam ritual ritual konser nyanyi nyanyi yang katanya sholawatan dengan memberi ilusi pencerahan.
Kata kata simbah ngawuliyak: "manusia terlempar ke dalam kebebasan, maka muhibin justru terlempar ke dalam jerat dependensi emosional, menyembah habib sebagai telos eksistensial yang semu".
Bahwa habib dan muhibin adalah produk dari manajemen tata kelola spiritual yang cerdik, di mana "cinta" direduksi menjadi komoditas, dan pengabdian menjadi mata rantai dalam sistem eksploitasi berlapis. Kolonialisme, sebagaimana biasa, pandai menyamarkan penindasan di balik istilah stilah suci, hingga yang tersisa hanyalah ilusi kebebasan dalam kungkungan kasta yang direkayasa dengan apik.
~~بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب~~ web.facebook.com/qsantri.eu.org?apps.apple