“Meluruskan Distorsi Mukibin: Ketika Imam al-Ghazali Dijadikan Tameng Taklid Buta”
🌑 1. Kutipan Imam al-Ghazali Disalahgunakan dalam Konteks yang Terbalik
Mukibin menulis:
“Imam Al-Ghazali—ikon Ahlussunnah wal Jamaah, bukan Wahabi—mengecam keras orang-orang yang memutuskan sesuatu tanpa ilmu…”
➡️ Kami sepakat dengan kutipan Imam al-Ghazali tersebut. Justru kutipan itu menjadi hujjah terhadap orang-orang yang menolak penelitian ilmiah atas dasar taqlid buta terhadap mitos nasab yang tidak terbukti.
Dalam Ihya Ulumuddin (Kitab Ilmu), Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa taklid tanpa dasar dan enggan mencari bukti adalah sifat orang yang mengikuti hawa nafsu dan tidak layak bicara atas nama agama.
📚 Referensi: Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid 1, Bab Ilmu, Dar al-Khair.
"Orang yang tidak mengetahui, tapi ikut bicara seolah tahu, maka kebodohannya adalah petaka bagi umat."
🚫 Justru yang terjadi saat ini:
Kritik ilmiah terhadap klaim nasab Ba’alwi justru berangkat dari ilmu sejarah, filologi, dan genetika — bukan klaim kosong. Sedangkan kelompok yang mempertahankan nasab tanpa bukti justru terjebak dalam taqlid dan fanatisme kelompok, dan itu yang dikecam Imam Al-Ghazali.
________________________________________
📌 2. Sanad Ilmu Nasab Bukan Monopoli Klan
Mukibin bertanya sinis:
“Sebutkan sanad ilmu nasab kalian.”
Pertanyaan ini memperlihatkan ketidakpahaman terhadap metodologi ilmiah dan menjebak ke dalam dikotomi palsu antara “sanad” dan “ilmu kontemporer.”
✅ Sanad ilmu nasab secara klasik disusun melalui rijal (perawi), syajarah (silsilah), dan kitab-kitab mu'tabar seperti:
• Al-Jamhrah fi Nasab al-Arab oleh Ibnu Hazm
• al-Muntaqā oleh al-Baladzuri
• Nasab Quraisy oleh Musa bin ‘Uqbah
• Al-Ashabah fi Tamyiz al-Shahabah oleh Ibn Hajar al-Asqalani
• Al-Dhau al-Lami' oleh Al-Sakhawi
📌 Para peneliti modern justru memadukan ini dengan kritik teks (tahqiq), ilmu filologi, dan genetika (haplogroup Y-DNA), seperti dilakukan oleh:
• Dr. Michael Hammer (University of Arizona) – Genetika populasi
• Dr. Sugeng Sugiarto – Genetika Islam Nusantara
• Prof. Dr. Manachem Ali – Filologi dan nasab di Timur Tengah
• KH Imaduddin Utsman al Bantani – Kajian sanad, sejarah, dan ilmu nasab secara kritis
➡️ Sanad keilmuan kami tidak hanya bersambung ke manusia, tapi ke metode ilmiah yang valid dan teruji. Bahkan para ahli fikih klasik pun menerima hujjah ahli non-sanad apabila ilmunya kokoh dan dalilnya sahih.
________________________________________
💥 3. Pertanyaan “Siapa guru kalian dalam ilmu nasab?” adalah sesat logika otoritas (fallacy)
Ilmu bukan hanya bisa diwariskan lewat “guru yang diakui kelompok sendiri.” Justru dalam tradisi ulama Ahlussunnah yang cerdas, ilmu dinilai dari dalil, argumentasi, dan validitas, bukan dari siapa yang berkata.
📚 Imam Syafi’i berkata:
“Jika suatu pendapat benar, maka ambillah, walau dari seorang budak hitam. Jika salah, tinggalkan, walau dari seorang tokoh besar.”
(Lihat: Adab al-Mufti wa al-Mustafti, Imam Nawawi)
Jadi, bertanya siapa guru kalian? tanpa menanggapi substansi dalil adalah pengalihan isu, dan bukti tidak siap menerima kebenaran yang menyakitkan.
________________________________________
📢 Penutup: Justru yang mengikuti Imam al-Ghazali adalah yang menolak taqlid membabi buta
Imam al-Ghazali juga berkata:
“Kebodohan yang dibungkus dengan taklid adalah kehinaan. Barang siapa merasa cukup dengan mengikuti tanpa ilmu, maka itu adalah kegelapan.”
(Ihya Ulumuddin, Bab Ilmu)
🔍 Maka, meneliti klaim nasab Ba’alwi secara objektif dengan alat ilmu sejarah, genetika, dan sanad adalah manifestasi dari anjuran Imam Al-Ghazali — bukan penyimpangan.
Sebaliknya, mempertahankan mitos tanpa dalil sambil menyerang pribadi peneliti adalah tanda ketakutan terhadap ilmu dan bukti.
web.facebook.com/qsantri.eu.org?apps.apple